Hari Buruh atau biasa disebut May Day jatuh pada 1 Mei setiap tahunnya. May Day adalah perayaan 1 Mei dengan sejarah yang panjang dan bervariasi, sejak ribuan tahun yang lalu. Tapi yang dikaitkan dengan Hari Buruh terjadi pada abad ke XVIII. Peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan May Day sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886.
Saat itu terjadi peristiwa Haymarket. Mereka mogok kerja dengan cara turun ke jalan. Kaum pekerja saat itu muak terhadap dominasi kelas borjuis. Polisi turun ke jalan hingga menembaki para demonstran. Korban luka dan tewas berjatuhan. International Working Men’s Association dalam sidangnya di Paris 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia.
Bebas berserikat
Mulai pada era presiden pertama RI Soekarno. Saat itu Hari Buruh dirayakan dan Bung Karno selalu hadir dalam perayaan. Dikutip Harian Kompas, 30 April 2014, Bung Karno menyampaikan kepada para buruh untuk mempertahankan politieke toestand. Itu adalah sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat.
Selain itu buruh juga harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya. Tapi pada era Presiden Soeharto, Hari Buruh tidak dirayakan karena identik dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Saat ini kementerian itu adalah Kementerian Ketenagakerjaan dan bukan Kementerian Perburuhan. Menteri Departemen Tenaga Kerja Awaloedin Djamin saat itu berusaha meniadakan perayaan Hari Buruh pada Mei 1966, tapi gagal karena buruh masih kuat. Setahun kemudian barulah dia berhasil meniadakan Hari Buruh.
Tuntutan untuk mengadakan kembali Hari Buruh bergema lagi saat era reformasi. Ribuan mahasiswa dan juga buruh berdemo menuntut diadakannya lagi Hari Buruh dan dijadikan libur nasional. Demo masih bergema dan makin besar tuntutannya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu massa menuntut revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial. Keinginan para buruh untuk libur pada Hari Buruh terkabul setelah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal berdiskusi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajarannya pada 2013. Diberitakan Harian Kompas, 30 April 2013, hari libur tersebut berlaku setahun kemudian, yaitu 1 Mei 2014.
yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat.
Selain itu buruh juga harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya. Tapi pada era Presiden Soeharto, Hari Buruh tidak dirayakan karena identik dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Saat ini kementerian itu adalah Kementerian Ketenagakerjaan dan bukan Kementerian Perburuhan. Menteri Departemen Tenaga Kerja Awaloedin Djamin saat itu berusaha meniadakan perayaan Hari Buruh pada Mei 1966, tapi gagal karena buruh masih kuat. Setahun kemudian barulah dia berhasil meniadakan Hari Buruh.
Tuntutan untuk mengadakan kembali Hari Buruh bergema lagi saat era reformasi. Ribuan mahasiswa dan juga buruh berdemo menuntut diadakannya lagi Hari Buruh dan dijadikan libur nasional. Demo masih bergema dan makin besar tuntutannya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Artikel ini telah tayang di dengan judul “May Day 2021 dan Sejarah Peringatan Hari Buruh “,
Saat itu massa menuntut revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial. Keinginan para buruh untuk libur pada Hari Buruh terkabul setelah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal berdiskusi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajarannya pada 2013. Diberitakan Harian Kompas, 30 April 2013, hari libur tersebut berlaku setahun kemudian, yaitu 1 Mei 2014.
yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat.
Selain itu buruh juga harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya. Tapi pada era Presiden Soeharto, Hari Buruh tidak dirayakan karena identik dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Saat ini kementerian itu adalah Kementerian Ketenagakerjaan dan bukan Kementerian Perburuhan. Menteri Departemen Tenaga Kerja Awaloedin Djamin saat itu berusaha meniadakan perayaan Hari Buruh pada Mei 1966, tapi gagal karena buruh masih kuat. Setahun kemudian barulah dia berhasil meniadakan Hari Buruh.
Tuntutan untuk mengadakan kembali Hari Buruh bergema lagi saat era reformasi. Ribuan mahasiswa dan juga buruh berdemo menuntut diadakannya lagi Hari Buruh dan dijadikan libur nasional. Demo masih bergema dan makin besar tuntutannya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Artikel ini telah tayang di dengan judul “May Day 2021 dan Sejarah Peringatan Hari Buruh “,
Saat itu massa menuntut revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial. Keinginan para buruh untuk libur pada Hari Buruh terkabul setelah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal berdiskusi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajarannya pada 2013. Diberitakan Harian Kompas, 30 April 2013, hari libur tersebut berlaku setahun kemudian, yaitu 1 Mei 2014.